Coto makassar atau
coto mangkasara adalah makanan tradisional Makassar, Sulawesi Selatan. Makanan
ini terbuat dari jeroan (isi perut) sapi yang direbus dalam waktu yang lama.
Rebusan jeroan bercampur daging sapi ini kemudian diiris-iris lalu dibumbui
dengan bumbu yang diracik secara khusus. Coto dihidangkan dalam mangkuk dan
dinikmati dengan ketupat dan "burasa" atau yang biasa dikenal sebagai
buras, yakni sejenis ketupat yang dibungkus daun pisang. Seperti yang telah
saya jelaskan di food terminoogi minggu lalu.
Coto makassar
diperkirakan telah ada semenjak masa Kerajaan Gowa di abad ke-16. Dahulu
hidangan coto bagian daging sapi sirloin dan tenderloin hanya disajikan untuk
disantap oleh keluarga kerajaan. Sementara bagian jeroan disajikan untuk
masyarakat kelas bawah atau abdi dalem pengikut kerajaan.
Saat ini coto
mangkasara sudah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, mulai di warung
pinggir jalan hingga restoran. Masyarakat umum juga menyukai bagian daging sapi
atau kerbau yang terletak di bagian punggung (sirloin) itu. Sementara beberapa
penjual memberi pilihan daging sapi atau jeroan, atau campuran keduanya, untuk
dihidangkan. Sejak bulan November 2008 coto makassar telah dipilih sebagai
salah satu menu yang dihidangkan pada penerbangan domestik Garuda Indonesia
dari dan ke Makassar.
Pallubasa adalah
makanan tradisional Makassar, Sulawesi Selatan. Seperti Coto Mangkasara (Coto
Makassar), Pallubasa juga terbuat dari jeroan (isi dalam perut) sapi atau
kerbau. Proses memasak pun hampir sama dengan Coto Makassar, yakni jeroan
direbus dalam waktu lama. Setelah matang, jeroan ditambah dengan daging itu
diiris-iris, kemudian ditaruh/dihidangkan dalam mangkuk. Dahulu pallubasa untuk
bagian daging sapi sirloin dan tenderloin hanya disajikan untuk disantap oleh
keluarga kerajaan. Sementara bagian jeroan disajikan untuk masyarakat kelas
bawah atau abdi dalem pengikut kerajaan. Kini masyarakat menyukai bagian daging
sapi yang terletak bagian belakang yang dikenal dengan sirloin. Beberapa
penjual pallubasa juga memberi beberapa pilihan daging sapi atau jeroan untuk
dihidangkan. Yang membedakan dengan Coto Makassar adalah bumbunya yang diracik
khusus. Kemudian kalau Coto Makassar dimakan bersama ketupat, sementara
Pallubasa dimakan bersama nasi putih.
Sup Konro adalah
masakan sup iga sapi khas Indonesia yang berasal dari tradisi Bugis dan
Makassar. Sup ini biasanya dibuat dengan bahan iga sapi atau daging sapi.
Masakan berkuah warna coklat kehitaman ini biasa dimakan dengan ketupat kecil
yang dipotong-potong terlebih dahulu. Warna gelap ini berasal dari buah kluwek
yang memang berwarna hitam. Bumbunya relatif "kuat" akibat
digunakannya ketumbar. Konro aslinya dimasak berkuah dalam bentuk sup yang kaya
rempah, akan tetapi kini terdapat variasi kering yang disebut "Konro
bakar" yaitu iga sapi bakar dengan bumbu khas konro.
Dimana ada ritual,
warga memotong kerbau yang kemudian mengambil bagian tulangnya lalu dimasak
dengan bumbu yang sederhana atau biasa disebut dengan pallu konro atau pallu
buku (buku = tulang). Proses pembuatan kuah konro yang khas terletak pada
kacang merah (campe’) yang dimasak hingga lunak lalu dihaluskan kemudian
dicampurkan ke dalam kuah. Bahan inilah yang membuat kuah pallu konro menjadi
agak kental dan khas, Selain campe’, penambahan ketumbar memperkuat rasa dan
keluak yang bertujuan memberikan warna pada kuah pallu konro yang diadopsi dari
bumbu masakan pallu kaloa’, Bedanya, pada pallu kaloa’ tidak menggunakan kayu
manis, cengkeh, dan adas.
Proses memasak
konro dilakukan dengan cermat. Pertama air di didihkan, lalu tulang konro
dimasukkan hingga mendidih kembali kemudian air ini dibuang seluruhnya.
Sementara itu, di panci yang lain telah dididihkan pula air dan inilah yang
akan digunakan untuk seterusnya memasak tulang konro bersama dengan
bumbu-bumbunya. "Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan tulang
dari sisa-sisa kotoran pada saat pemotongan, menghilangkan lemak, dan
menghilangkan bau amis," ujarnya. Daging sapi populer di Makassar awal
tahun 90-an. Dulunya, masyarakat Makassar lebih mengenal daging kerbau dalam
membuat makanan berkuah yang berbahan dasar daging seperti coto dan pallubasa.
Songkolo (bahasa
Makassar) atau Sokko’ (bahasa Bugis) adalah makanan yang terbuat dari beras
ketan putih yang dikukus sampai matang, terkadang juga memakai beras ketan
hitam. Songkolo bagadang dihidangkan di atas piring serta diberi taburan kelapa
parut yang telah di goreng. Lauk pendamping yang khas dari makanan Songkolo ini
yaitu ikan asin kering serta telur itik asin. Bila pelanggan bermaksud untuk
mengkonsumsi songkolo bagadang di rumah, maka biasanya setiap porsi songkolo
bagadang dibungkus dengan memakai daun pisang yang diikat dengan karet.
Kapurung adalah
salah satu makanan khas tradisional di Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat
daerah Luwu (Kota Palopo, Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur) Makanan ini
terbuat dari sari atau tepung sagu. Di daerah Maluku dikenal dengan nama
Papeda. Kapurung dimasak dengan campuran ikan atau daging ayam dan aneka
sayuran. Meski makanan tradisional, Kapurung mulai populer. Selain ditemukan di
warung-warung khusus di Makassar juga telah masuk ke beberapa restoran,
bersanding dengan makanan modern.Di daerah Luwu sendiri nama Kapurung' ini
sering juga di sebut Pugalu atau Bugalu.
Jika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, pallu kaloa berarti memasak dengan menggunakan rempah
kaloa, yang merupakan rempah khas Sulawesi Selatan. Kaloa tergolong rempah biji
dengan kulit keras berukuran kecil seperti bawang. Bagian yang digunakan untuk
meracik sup ikan ini adalah bijinya yang berwarna hitam, tanpa dihancurkan sama
sekali, untuk menciptakan cita rasa asam yang khas.
Kuah sup ini terlihat
berwarna kehitaman dan tidak kental. Berhubung tampilan kuahnya mirip menu
rawon asal Jawa Timur, tak ayal sebagian warga pendatang di Makassar menyebut
pallu kaloa sebagai rawon ikan. Pallu kaloa menjadi salah satu masakan yang
paling diburu wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Masyarakat dari
kalangan biasa hingga pejabat kerap menjadikan
makanan ini sajian utama ketika menjamu tamu. Warung pallu
kaloa di Jalan Tentara Pelajar ini sudah hadir sejak era tahun 1970-an.
peracik pertama Pallu
Kaloa bernama H. Wasid asal Kabupaten Pangkep. Dulu ia berjualan pallu kaloa
menggunakan gerobak di Jalan Lombok. Menu ini rupanya berhasil menarik
perhatian banyak penikmat makanan sehingga pada tahun 2005, H. Wasid memutuskan
untuk mengembangkan usahanya dengan membuka warung makan di Pasar Sentral.
Lantaran Pasar Sentral sempat mengalami dua kali kebakaran, H. Wasid lantas
mengajak anaknya untuk membuka warung di Jalan Tentara Pelajar pada tahun 2008.
Warung yang awalnya hanya berukuran 4X6 meter kini telah berkembang menjadi 8X6
meter. Tidak hanya itu, warung pallu kaloa milik H. Wasid kini juga sudah
memiliki dua cabang salah satunya dikelola oleh sang cucu. Pallu kaloa yang
diracik H. Wasid bersama tujuh anaknya memiliki ciri khas tersendiri. Kalau di
rumah makan lain kuah sup dibumbuhi kelapa, di tempat ini sebaliknya, tidak
menggunakan kelapa sama sekali. Kuah sup hanya mengandalkan cita rasa asam dari
rempah kaloa yang dicampur asam Jawa dan gula merah.
Resep yang digunakan sudah turun-temurun diwariskan dari
kakek makanya tidak akan sama dengan tempat lain. Apalagi ikan yang dipakai
benar-benar dipilih dan tidak asal seperti kerapu, lamuru, katamba, kaneke, dan
tuna yang hanya dipakai kepalanya. Sementara yang ingin mencicipi dagingnya, dipilihkan
ikan tuna dan lamuru. Adapun untuk kuahnya menggunakan bumbu rempah yang
terdiri atas lengkuas, sereh, bawang putih, bawang merah, kayu manis, pala,
ketumbar, merica, dan kaloa.
Sop saudara
merupakan masakan khas dari Sulawesi Selatan berupa hidangan berkuah dengan
bahan dasar daging sapi yang biasanya disajikan bersama bahan pelengkap seperti
bihun, perkedel kentang, jeroan sapi (misalnya, paru goreng), dan telur rebus.
Masakan ini umum dikonsumsi bersama dengan nasi putih dan ikan bolu (bandeng)
bakar.
Konon, sop saudara
berawal dari H. Dollahi yang merupakan seorang pelayan dari H. Subair, seorang
penjual sop daging yang cukup terkenal di Makassar pada era tahun 1950-an. Keduanya
adalah warga kampung Sanrangan Pangkep yang mengadu peruntungan untuk
meneruskan hidup dengan membuka warung makan. Setelah selama 3 tahun berkongsi,
H. Dollahi pun memberanikan diri untuk membuka usaha sendiri pada tahun 1957
dengan membawa nama Sop Saudara yang membuka lapak di kawasan Karebosi,
Makassar. Racikan H. Dollahi ini ternyata mampu menarik minat pecinta kuliner
baik bagi warga asli maupun pendatang. Nama Sop Saudara yang unik ini dipilih
karena terinspirasi dari nama "coto paraikatte" (biasa dijadikan nama
warung yang menjual Coto Makassar). Dalam bahasa Makassar
"paraikatte" berarti "saudara" atau "sesama".
Dengan nama tersebut, H. Dollahi berharap semua orang yang makan di warung ini
akan merasa bersaudara dengan pemilik, pelayan dan sesama penikmat Sop Saudara.
Di Makassar, jalangkote kerap disajikan sebagai menu buka
puasa. Jalangkote merupakan semacam penganan khas Sulawesi yang memiliki bentuk
mirip pastel. Perbedaannya, kulit jalangkote lebih tipis serta isi di dalamnya
umumnya berisi potongan wortel serta kentang berbentuk dadu, tauge (kecambah),
serta soun, yang ditumis bersama bawang putih, bawang merah, garam serta
merica. Saus tomat umumnya akan dihidangkan bersama jalangkote agar rasanya
makin nikmat.
”CUCURU BAYAO” Jika
orang yang mengerti bahasa makassar mendengar nama kue yang satu ini pasti
sudah mengetahui bahan dasar kue ini yakni dari bayao=telur. Cucuru bayao
adalah kue khas Pangkep yang rasanya sangat manis dan dapat dengan mudah di
dapatkan pada acara-acara tertentu seperti pernikahan yang berlangsung di
kabupaten Pangkep. Di setiap pernikahan kue ini tak pernah absen untuk hadir
dalam menu yang di hidangkan dalam bosara apalagi saat ma’mata-mata (malam
berpacing) pada pernikahan. Cucuru bayao ini terbuat dari telur, gula, dan
kenari.
Kue Cucuru bayao ini
menggunakan banyak sekali telur sehingga menyebabkan kue ini berwarna golden
(seperti emas) yang melambangkan kemuliaan, kemegahan serta keangungan yang
bermakna baik sehingga dalam event yang bertujuan untuk kehidupan yang baik
pastinya kue ini akan hadir dalam event tersebut.
Kini cucuru bayao
sudah sangat mudah di temukan apalagi di daerah pangkep sampai makasssar, karna
kue ini hanya di hidangkan pada pesta pernikahan atau acara tertentu jadi bila
ingin mencicipi cucuru bayao datang saja di kabupaten pangkajene dan
kepulauan.Bentuk cucuru bayao itu, bulat agak pipih, dan berwarna kuning tua.
cucuru bayao sangat lah manis jadi, bagi para penderita diabetes harus berhati
– hati memakan si cucuru bayao ini. Kalo mau membuat cucuru bayao, sang pembuat
harus mematuhi peraturan tertentu, antara lain ; pembuat harus bersih, memakai
pakaian yang bagus, dan juga tidak boleh marah (membuat cucuru bayao
membutuhkan kesabaran yang tinggi).
Buroncong adalah
salah satu kue tradisional khas Bugis Makassar yang hingga saat ini masih
diminati. Salah satu penjual Buroncong yang terkenal berlokasi di kawasan
Tamalanrea, tepatnya di Jalan Perintis Kemerdekaan Km.12, di depan perumahan
Nusa Tamalanrea Indah (NTI). Bapak penjual Buroncong ini hanya berjualan mulai
pukul 5 sore hingga pukul 10 malam hari saja. Kue Buroncong biasa juga disebut
beroncong, garoncong, geroncong, atau kue ganco kalo di daerah lain mirip-mirip
kue pancong atau kue pukis. Jajanan ini terbuat dari campuran tepung terigu,
santan dan parutan kelapa muda, gula pasir, garam serta penambahan soda kue.
Bentuknya seperti busur mirip kue pukis namun dengan ukuran lebih besar,
panjangnya sekitar tujuh sentimeter dengan tebal berkisar dua sentimeter. Dan
dibakar dengan cetakan khusus di atas tungku kayu.Penganan ini bercita rasa
manis dengan sensasi renyah, yang berasal dari kelapa parut.
Cara membuat Kue
Buroncong, Semua bahan disatukan dalam satu adonan diaduk hingga rata dengan
air. Adonannya biasanya agak encer. Setelah adonan siap, masukkan dalam cetakan
Buroncong yang telah dipanaskan dengan bara api, jangan lupa olesi dulu
cetakannya dengan minyak kelapa menggunakan kuas atau daun pisang agar
adonannya tidak lengket.Belakangan ini Buroncong juga terkena sentuhan inovasi.
Pedangang menawarkan berbagai rasa alternatif, dengan menambahkan susu atau
keju sebagai pengganti gula pasir. Kue Buroncong sudah ada sejak puluhan atau
bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu sudah dikenal oleh masyarakat Sulawesi
Selatan. Jika suatu saat Anda berkunjung ke Makassar, tak ada salahnya mencoba
kudapan gurih khas Makassar ini sebagai sarapan untuk menambah energi
menjelajahi kota Makassar ataupun cemilan teman bersantai di sore hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar